• Categories

  • Archives

Amir (1)

Amir tersedu dipojok ruangan dengan butiran nasi menempel dipipinya yang basah oleh air mata yang meleleh tumpah sampai ke dalam piring yang berisi nasi dan ikan asin gosong. Sesekali ia menutup kuping dan matanya seraya menunduk jongkok kala mendengar suara tamparan yang disusul dengan jerit tangis dan suara lemari yang berderak-derak serta kaki meja yang berdecit-decit dibalik lemari besar pembatas ruangan yang sempit itu. Sesekali hampa…yang ada hanya deru nafas beringas yang memburu dan isak tangis yang ditahan…kemudian pecah kembali sampai larut.

Malam menidurkan Amir di sudut ruangan dengan buaian sayup sayup dendang lagu lawas dari siaran radio tengah malam. Matanya sembab, tubuhnya terkulai lemas bagai menciut melindungi perutnya, rebah kesamping. Kepalanya berbantalkan lengannya sendiri.

Pagi menjelang menggantikan peran malam yang selalu menyisakan misteri setiap kepergiannya. Sinar matahari yang masuk dari celah celah jendela tak mampu menjangkau Amir, ia mendelik, mengerutkan dahi terkejut singkat, seolah baru menyadari dimana ia tertidur tadi malam. Baru saja matanya menyapu ruangan, tiba tiba sudah terbentur sosok seorang wanita setengah baya berkulit putih dibalut daster berwarna biru tua dengan motiv bunga bunga kuning mengulurkan tangannya kearah Amir. Parasnya elok, namun dinodai oleh rambut coklat kemerahannya yang kusut dan pipi kirinya yang memar dan sembab…

“Ayo bangun, udah jam berapa nih? nanti telat lagi” Amir menyambut tangan wanita itu tanpa menjawab dengan sepatah katapun.

Bersambung

Leave a comment